Keluarga dan Ulama: Fitrah dan Peran dalam Peradaban
Secara fitrah, keluarga sesungguhnya adalah unit terkecil peradaban yang sangat menentukan arah gerak peradaban. Karenanya upaya mengubah atau menggeser peran fitrah keluarga telah berlangsung sejak revolusi industri sehingga keluarga tak lagi menjadi unit peradaban, hanya menjadi kuli peradaban yang sangat tergantung dalam semua hal.
Perubahan atau pergeseran itu tentu saja lewat sistem pendidikan, yang berorientasi ekonomi dan menyempitkan semua makna sebatas materi dan pencitraaan.
Lihatlah Keluarga kini tak lagi menjadi unit pendidikan, unit sosial, unit ekonomi, unit ekologi dstnya. Unit maksudnya adalah sebuah entitas peradaban yang benar benar mandiri dan berdaulat. Keluarga kini hanya gerombolan suami, istri dan anak anak, yang melayang layang bingung dan tergantung di ibukota atau kota besar.
Banyak keluarga muda bekerja keras mengais upah demi cicilan kendaraan dan rumah yang letaknya jauh di pinggiran kota, sebagai urban yang tak pernah menyadari hakekat atau fitrah keluarga, fitrah keayahbundaan, dan juga fitrah mendidik anak selaras fitrah. Urusan karir atau mencari uang seolah menjadi inti kehidupan berumahtangga. Ini mudah dibuktikan dengan tingginya tingkat perceraian dan kasus anak gagal didik.
Keluarga tak lagi menjadi unit atau entitas mulia sebuah peradaban, namun sekedar sekrup peradaban yang sangat tergantung industri dan pemerintah. Selama pandemik, ketika sekolah hanya via daring, ketika banyak pekerja dirumahkan, maka semakin nampak betapa rapuhnya keluarga. Selama pandemik banyak keluarga mengalami kebingungan fitrahnya sehingga kegalauannya memuncak. Keluarga yang dianggap sukses adalah yang bisa bertahan secara ekonomi semata.
Nasib keluarga, mirip dengan nasib Ulama. Sejak lama, makna dan peran Ulama juga terus dikecilkan dan disempitkan. Di era penjajahan, Ulama dihabisi, di era kemerdekaan, bahkan bergeser menjadi tukang stempel atau figur tontonan dan hiburan ruhani.
Ulama kini sulit dibedakan dengan penceramah atau influencer atau orang yang menjadikan dakwah sebagai motif ekonomi atau motif politik praktis. Tanpa sadar kita telah menerima cara pandang kolonialime atau modernisme tentang Ulama.
Padahal satu satunya elemen penjaga peradaban adalah Ulama. Dalam Islam, ulama adalah orang yang mewariskan Kenabian, mewariskan Ilmu secara bersanad atau berjenjang kepada Rasulullah SAW. Perannya mirip Nabiyullah, yaitu sebagai Guru peradaban bagi ummat. Konsep Teacher yang ilmunya bersanad, ini tak dikenal dalam agama lain.
Karenanya Ulamalah yang menjaga bagaimana segala sesuatu berjalan selaras fitrah sehingga beradab, karena semakin selaras fitrah maka akan semakin beradab dan semakin mudah menerapkan syariah atau Kitabullah.
Dalam konteks keluarga, Ulama pulalah yang menjaga fitrah keluarga sebagai tolak ukur martabat dan derajat kemuliaan keluarga. Karenanya semakin tinggi derajat keilmuan seorang Ulama, ia harus menjadi teladan yang terbaik pada keluarganya. Rasulullah SAW berpesan, “.. yang terbaik diantara kalian adalah yang paling baik pada keluarganya, dan aku adalah orang yang paling baik pada keluargaku.”
Itulah mengapa kehidupan keluarga para Ulama sangat menjadi sorotan publik, karena orang butuh contoh dan keteladanan bagaimana mempraktekkan ilmu dalam hal ini pada ruang terdekat dalam hidupnya, yaitu keluarganya. Ukurannya seberapa peran fitrah dan adab, baik fitrah keluarga, fitrah keayahbundaan, dan fitrah mendidik di dalam keluarga ulama.
Apakah berlebihan ekspektasi publik? Tentu tidak, hal yang sangat normatif dan wajar.
Namun pertanyaanya kembali, kepada definisi atau hakekat atau makna Ulama, kalau definisi sempit Ulama hanya sebagai penceramah kondang yang pandai memainkan kata kata, atau influencer yang menarik hati yang mencari panggung, atau pendakwah dengan motif ekonomi atau motif politik praktis, maka jangan pernah berharap itu Ulama tulen yang bisa memberi keteladanan khususnya dalam kehidupan berkeluarganya. Anda akan kecewa dibuatnya bahkan bisa ikut ikutan membenci Ulama yang sesungguhnya.
Nampaknya, ummat perlu mendefiniskan kembali hakekat Ulama dan hakekat Keluarga, sebagai dua unsur pokok atau akar peradaban, agar tak tersesat dan tak terjebak.
Trackbacks & Pingbacks
[…] wanita dengan karakteristik ini agar siap mendukung dan menjadi makmum (follower) misi hidup sang suami. Ia mendorong suaminya agar menjadi imam yang baik, membantunya dengan setia untuk menemukan misi […]
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!