Ketaatan vs Kebebasan (bagian 1)

memadukan ketaatan dan kebebasan dalam pendidikan

Dua hal yang sering dianggap dilemma dan dianggap tak mungkin disatukan dalam mendidik atau pendidikan adalah ketaatan dan kebebasan.

Ada yang mengeluhkan bahwa di masa lalu pendidikan sangat mengungkung dan menekan, namun konon melahirkan generasi tangguh dan tekun tapi tidak inovatif dan manipulatif. Sementara di masa kini, sebagai antitesa masa lalu, pendidikan sangat membebaskan dan menyenangkan, sehingga melahirkan generasi yang kreatif dan inovatif, namun rapuh dan liar tanpa nilai kebenaran mutlak, sehingga sangat eksploitatif. Manipulatif dan eksploitatif sebenarnya mata uang yang sama.

Padahal apabila bisa memadukan keduanya dengan serasi, maka justru lahirlah generasi yang memuncak kedewasaannya (human being), karena kedewasaan adalah kemampuan memadukan pengendalian diri pada ketaatan atau kepatuhan dengan pengembangan diri pada kebebasan dan keberanian untuk memilih dan memutuskan yang terbaik. Itu dalam skala individual.

Sayangnya kita gagal memadukannya bahkan memisahkannya sehingga dalam skala komunal atau kultural, kedua hal di atas seolah menciptakan dua generasi yang terbelah dan berbeda, yaitu generasi feodal dan generasi liberal. Dalam tulisan ini akan kita lihat dan buktikan bahwa sesungguhnya, tanpa kemampuan mendidik yang bisa memadukan ketaatan dan kebebasan dengan benar dan serasi sesuai tahapan, maka lahirlah generasi feodal maupun generasi liberal, keduanya akan berujung sama saja yaitu merusak peradaban,

Generasi yang disebut pertama adalah generasi yang sejak kecil nampak patuh dan taat, nampak bagai generasi dalam kungkungan feodal, yang masa mudanya tertekan dan masa tuanya menekan. Walau generasi ini terlihat lebih tangguh karena biasa mengalami pendidikan yang menekan dan keras penuh aturan, namun mereka sulit untuk berani berekspresi dan melahirkan hal hal baru yang inovatif dsbnya, mereka sangat kaku dan formal, namun anehnya sering memanipulasi sistem untuk kepentingan mereka, mereka bahkan cenderung suka berkihanat atau bermuka dua alias munafik, bicara agama dan kebajikan di panggung, menjadi liberalis kapitalis di balik punggung.

Generasi yang disebut kedua adalah generasi yang sejak kecil sampai besar selalu hidup dalam sanjungan dan ruang kebebasan yang menyenangkan, cenderung liberal sehingga masa mudanya nampak sangat bahagia, dan masa tuanya nampak nampak foya foya, bebas mengeksploitasi apapun. Generasi ini walau nampak sangat kreatif dan inovatif, namun sebenarnya sangat rapuh, mereka memandang semua hal relatif dan progresif sehingga tak memiliki nilai nilai yang layak dijadikan pegangan dalam hidup. Merekapun cenderung suka berkhianat walau nampak menjunjung kebebasan berfikir dan berbicara, menghargai keunikan dan kemanusiaan, namun karena tak memiliki nilai kebenaran mutlak yang dijunjung sampai mati walhasil tiada kebenaran yang perlu ditaati kecuali ada kepentingan pribadi di dalamnya.

Realitanya, hari ini kita temukan anak anak produk lama yang nampak patuh dan taat baik pada otoritas orangtua, nilai agama maupun negara, namun terlihat bagai kepatuhan sebuah mesin, robotik dan mekanistik semata kalau tidak bisa dibilang sekedar jaim (jaga image) atau demi reputasi keshalihan. Sementara nampak tak memiliki ghirah dan keberanian untuk secara berani dan bebas memberikan terobosan bagi pengembangan dirinya bahkan membuat perubahan bagi ummat. Mereka nampak hidup dalam tekanan feodalisme dan ketegangan.

Di sisi lain, kita temukan belakangan ini anak anak produk baru, yang nampak lebih bebas melakukan ekspresi, kreatifitas dan inovatif, namun tak memiliki nilai nilai yang dipercaya sebagai kebenaran tertinggi dan mutlak. Mereka cenderung memandang agama sebagai kehidupan ritual semata atau bahkan memperalat agama untuk kepentingan atau keuntungan pribadi atau egonya. Mereka nampak hebat dalam inovasi usaha dan bisnis, namun tak segan segan memanipulasi apapun termasuk simbol simbol agama untuk memuluskan usahanya atau bisnisnya itu, ini termasuk dalam ranah bisnis pendidikan dan bisnis politik. Bagi mereka semua nilai nilai hidup itu tiada yang mutlak, semua relatif dan progresif, hasil konstruksi akal atau konstruksi sosial.

Kedua generasi itu walau nampak berbeda namun jelas sama merusaknya dan sesungguhnya tak punya harapan ke depan. Usaha kementerian pendidikan nasional membuat program “merdeka belajar” sebenarnya sebagai sebuah upaya perlawanan dari model pendidikan feodalisme yang melahirkan generasi feodal yang taat namun suka khianat, namun jika tidak hati hati, antitesa ini beresiko melahirkan pendidikan liberalisme yang melahirkan generasi liberal yang bebas namun liar tanpa nilai.

Saudaraku,

Sesungguhnya ketaatan dan kepatuhan adalah fitrah manusia, dan di sisi lain kebebasan juga fitrah manusia. Manusia diciptakan dengan default untuk menjadi hambaNya. Dr. Muhammad Quthb mengatakan bahwa makna diciptakan untuk beribadah adalah 24 jam sehari semalam, tidak satu detikpun terlewatkan kecuali manusia pasti tunduk dan patuh, namun masalahnya adalah tunduk dan patuh kepada Allah atau kepada selain Allah.

Nah, disinilah manusia diberi free will, kebebasan untuk memilih, namun pilihan itu tidak gratis, tetapi akan mempertanggungjawabkan pilihannya itu. Allah akan menguji sepanjang kehidupan manusia, siapa yang paling baik amalnya. Karenanya free will dalam Islam maknanya adalah ikhtiyar, yaitu memilih yang khoyr atau yang baik, bukan sembarang memilih.

Lalu bagaimana prakteknya dalam pendidikan untuk memadukan ketaatan dan kebebasan? Silahkan like dan komen, jika ingin mendapatkan pembahasannya ya agar anak anak kita tidak timpang dan tidak utuh, tidak menjadi generasi feodal atau generasi liberal, yang keduanya berpotensi sama yaitu khianat dan koruptif, manipulatif dan eksploitatif.

(Bersambung)

https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=10225383009992339&id=1536815060

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *